Whatsapp cctv

Article Peradilan

Ternyata Momentum Lailatul Qadar di Bulan Puasa Ramadhan Dapat Dimaknai Juga sebagai Peristiwa Mistik

pa-cikarang.go.id | 10 Mei 2021

Malam ke 23 Ramadhan 1224 H/5 Mei 2021 kali ini, seorang sahabat sebut saja namanya "Fatih" sengaja menugasi puteranya (Kelas 5 SDI) untuk membuat tulisan pendek tentang Laitul Qadar. Singkat cerita, putranya kemudian mengambil buka pelajaran sekolahnya dan menuliskan di smartphone miliknya. Tidak panjang, ada tiga paragraf dengan judul "Lailatul Qadar*

Paragraf pertama, Lailatul Qadar Adalah Malam Penuh kemuliaan. Maksudnya, Ibadah Pada Malam Itu Nilainya Lebih Baik daripada ibadah seribu bulan. Seribu Bulan Kira-Kira Sama Dengan 84 Tahun. Jadi, Kalau Kita Beribadah Pada Malam Itu, Pahalanya Lebih Baik daripada Beribadah 84 Tahun. Padahal, Rata-rata Umur Manusia Adalah 60 Tahun. Bagaimana Cara Kita Memperoleh Lailatul Qadar?

Kedua, Begitu Mulianya Lailatul Qadar Hingga Para Malaikat Dan Malaikat Jibril Turun Ke Bumi Dengan Izin Allah Swt. Mereka Turun Untuk Mengatur Segala Urusan. Pada Malam itu Allah Swt. Membuka Pintu Rahmat-Nya Dan Memberikan Ampunan Sepanjang Malam Hingga Terbir Fajar.

Ketiga, Kalian Mungkin Pernah Mendengar Bahwa Malam Kemuliaan (Lailatul Qadar) Ditandai Dengan: (1) Malam Yang Cerah; (2) Langit Bertabur Bintang; (3) Serangga Dan Jangkrik Bernyanyi Merdu, Dan (4) Serta Pohon-Pohon Merunduk Syahdu.

Tiga paragraf diatas itu kemudian dia share ke hp ayahandanya. Sengaja saya kutip lengkap tanpa merubah sedikit pun seperti yang sahabat itu forward ke saya. Alhamdulillah kata sahabat tadi puteranya mampu menceritakan ulang apa yang dia tulis kepada ayahnya. Artinya anak kelas 5 SD sudah punya pengetahuan mengenai Lailatul Qadar. Pertanyaannya, bagaimana dengan kita? Apakah pengetahuan dan pemahaman kita juga seperti itu?

Laitul Qadar Dalam Arti Mistis

Adalah Buya Hamka yang pernah memberi pemaknaan Lailatul Qadar agak berbeda dari orang kebanyakan sebagamana ditulis anak kelas 5 SD di atas. Pemaknaan itu menunjuk pada satu momentum yang mendasari munculnya perubahan pandangan dan sikap Sutan Takdir
Alisjahbana (STA) dari seorang yang atheis, anti atau sinis terhadap agama menjadi orang yang justru mengapresiasi agama dan dalam banyak kesempatan sering berbicara tentang Tuhan. Malah dia juga pernah mengklaim dirinya sebagai “manusia Renaisans”, yang berarti orang yang sangat rasional. Segala sesuatu dipersoalkan dan dipertanyakan dari sudut pandang yang melulu logika.

Perubahan cara pandang dan sikap STA sangat terkait dengan suatu peristiwa yang dialaminya sendiri di Itali. Yakni ketika pesawat terbang yang ditumpangi mengalami kecelakaan dan STA selamat. STA merasa tidak bisa menerangkan bagaimana bisa selamat. Akhirnya peristiwa itu menjadi suatu momen transformasi dari seluruh hidupnya (semacam epifani). STA menemukan sesuatu yang baru, yang membuatnya seakan-akan dilahirkan kembali. Momennya adalah “a fraction of minute” (suatu pecahan kecil dari menit), suatu saat yang lebih baik dari seluruh hidupnya, karena menentukan seluruh hidupnya di kemudian hari, sampai ajal menjemput. Momentum itulah yang menurut Buya Hamka, STA telah menemukan “lailatul qadar” (laylat al-qadr), yaitu ketika STA tiba-tiba menyadari bahwa hidup ini ada kelanjutannya; saat itu STA menghadapi satu persoalan yang STA sendiri tidak bisa mengerti. Itulah Lailatul Qadar dalam arti mistis. (Informasi lengkapnya dapat dilihat di Ensiklopedi Nurcholish Madjid Jilid 2 hal.1719).

Pemaknaan serupa dari Buya Hamka mengenai Lailatul qodar dapat ditemukan dalam buku Renungan Tasawuf. Buya Hamka mengatakan bahwa Amirul Mukminin (Umar bin Khattab) mendapat Lailatul Qadar jutsru di luar Ramadan. Suatu malam yang kata Buya Hamka menentukan arah hidup manusia (Umar Bin Khattab) yang awalnya benci dan ingin membunuh Rasulullah berubah memeluk Islam. Dimana Umar dapatkan usai membaca surah Thaha. Selain Umar Bin Khattab orang saleh seperti Fudhail bin Iyyadl dan Syeikh Muhammad Jamil Jambek juga memperoleh "laitul qadar".

*

Pertanyaannya, bagaimana cara menjelaskan arti mistis dalam konteks Lailatul Qadar ala Buya Hamka agar lebih mudah dipahami? Sependek pengetahuan penulis, pemaknaan seperti itu dapat dimulai dengan mencoba menyelami makna Lailatul Qadar itu sendiri. Pertama, mengurai arti kata laitul dan qadar. Secara harfiah kata laitul (lail) berarti malam. Malam lawan kata dari siang.

Menurut Kamus Besar Indonesia, malam (n) waktu setelah matahari terbenam hingga matahari terbit; kelam bagai malam dua puluh tujuh, pb suatu hal atau perkara yang sangat gelap, tidak ada bayangan sedikit pun bagaimana akan memeriksa dan menyelidikinya; Malam hakekatnya bermakna gelap. Sementara gelap bersinonim dengan kata (1) gelita, kelam, malam, silam; (2) menderita, sulit, suram, susah; gelap gulita gelap buta, gelap katup, gelap pekat.

Jadi mengacu pada pemahaman diatas, sekali lagi malam pada hakikatnya gelap. Malam yang gelap bisa berubah menjadi terang kalau ada pencahayaan. Atau malam akan berubah makna kalau disandingkan dengan kata lain. Misalnya malam takbiran, malam Jum'at, malam pengantin. Tapi kalau kata malam berdiri sendiri akan lebih tepat dimaknai sesuai sifatnya yakni, gelap. Biasanya, "gelap" selalu mengandung makna yang cenderung negatif. Dunia malam, dunia gelap, hatinya gelap. Cenderung berrkonotasi negatif.

Sementara, secara istilah, qadar berarti sebuah penentuan yang pasti dan sudah ditetapkan oleh Allah SWT. Baik yang sudah terjadi, sedang terjadi, maupun yang akan terjadi. Kalau Qada merupakan keputusan atau rencana yang telah dituliskan Allah SWT. Maka, qadar adalah perwujudan atau kenyataan yang akan terjadi seperti yang sudah ditetapkan Allah SWT tersebut.

Jadi, Qadar dalam pengertian makro bisa bermakna, petunjuk, keterangan, kejelasan, kebenaran akan segala hal yang meliputi urusan dunia akhirat Dikatakan seperti itu karena pada peristiwa Lailatul qadar itu "Al Qur'an" diturunkan kepada Muhammad SAW. Dalam skala waktu untuk sepanjang masa dan jaman, segala urusan dunia plus akhirat, semua tertuang dalam al Qur'an. Tak satupun diantara kita yang membantah bahwa Al Qur'an adalah keputusan, ketetapan, atau rencana yang telah dituliskan (Qada) dan perwujudan atau kenyataan yang akan terjadi terhadap apa yang sudah ditetapkan Allah SWT.

Dalam skala mikro, qadar merupakan bentuk perwujudan atau kenyataan yang akan terjadi pada seseorang atau beberapa orang, seperti yang sudah ditetapkan Allah SWT saat seseorang atau beberapa orang itu menerima ketetapan yang digariskan kepadanya. Saat Lailatul qadar terjadi dan didapatkan. Tentu ketetapan yang dimaksudkan disini adalah ketetapan yang sifatnya baik, membawa keberuntungan, kesejahteraan atau kebahagiaan dalam kehidupan mereka berikutnya.

Dalam konteks pemahaman di atas, pemaknaan Lailatul qadar dalam perspektif Buya Hamka ditemukan relevansinya. Baik STA dan Umar Bin Khattab, (yang keduanya mengalami malam atau kondisi gelap) memperoleh "qadar" yakni anugerah yang nilainya lebih dari seribu bulan. Dikatakan lebih dari seribu bulan, karena pada akhirnya mereka menghabiskan masa-masa sisa usianya dengan kebaikan, dan kebaikan itu tidak saja diperoleh di dunia tapi juga akan dijumpai di akhirat kelak. Kontekstualisasi riil wujud kemuliaan yang benar-benar melebihi masa dari sekedar 1000 bulan. Masa yang cukup panjang. Jadi tidak salah kalau dalam Surah Al Qadar dinyatakan bahwa Lailatul qadar itu "kemuliaannya melebihi seribu bulan". Pertanyaan kita berikutnya, kapan persisnya "mementum" Lailatul qadar terjadi? Apakah seperti disebutkan Buya Hamka (bisa terjadi kapan saja) atau hanya terjadi pada malam-malam ganjil di bulan Ramadhan sebagamana kita pahami selama ini. Jawabannya, Insyaallah akan diurai pada catatan seri berikutnya. TAPI YANG TERPENTING DAN UTAMA adalah BAGAIMANA MENEMUKAN, BAHKAN MENCIPTAKAN MOMENTUM ITU pada diri kita masing-masing. Wallahu A'lam.

Catatan Seri 25 Tentang Puasa, Ramadhan 1442 H/2021 M (Bekasi : Muhammad Arjul)