Article Peradilan
TERNYATA PUASA BISA MENDATANGKAN PENGALAMAN SPRITUAL (HIKMAH) TERSENDIRI BAGI PELAKUNYA (3)
pa-cikarang.go.id | 07 Mei 2021
"Tulisan ini hanyalah serpihan debu pengetahuan saya tentang rasa cinta Rumi terhadap DIA yang dicintainya" (MA)
Dua dari tiga gagasan utama Rumi telah diurai pada Catatan Seri 15 Tentang Puasa sebelumnya, pertama terkait bagamaina pentingnya melampaui yang lahiriah, kedua perlunya memahami konsep mikrokosmos dan makrokosmos dalam konteks mengenal sang Pencipta. Sementara ketiga, terkait bagamaina seharusnya memposisikan akal dalam diri manusia, seperti akan diulas sekilas pada awal catatan ini.
Ketiga, bagaimana akal dalam diri manusia? Menurut Rumi, akal manusia sangatlah terbatas dalam banyak hal. Kemampuan nalar manusia memang demikian adanya. Karena kerbatasan itu pula akal jangan ditempatkan pada posisi puncak atau dijadikan tujuan. Akal memang penting tapi hanya tempat "persinggahan" untuk menuju pada posisi yang lebih tinggi. Bahasa gampangnya, ya jangan sampai seseorang memper-Tuhan-kan akalnya. Atau mungkin membuat seseorang terjebak pada sifat kesombongan, semoga tidak. Karena orang pandai, pintar, cerdas yang sombong sejatinya adalah orang bodoh. Begitu kata orang bijak.
Sehebat-hebatnya akal seseorang hanya akan mampu mengungkap sebatas (sesuai) pengalaman yang pernah dialaminya. Seseorang bisa bicara apa saja lewat bacaan, akan tetapi pasti kualitas pengetahuannya akan berbeda dari mereka yang berpengalaman. Orang yang berpengalaman akan lebih gampang menghadapi kehidupan dibandingkan orang yang tidak berpengalaman langsung, sekalipun dia berilmu berpengetahuan luas. Einstein, filosof Yunani Kuno, Socrates, Plato, Aristoteles, Habibie yang ahli pesawat terbang, semua memiliki keterbatasan. Mereka hanya ahli di bidangnya masing-masing. Tak satupun orang pintar yang ditemui selama ini yang tahu dan memahami segala sesuatunya.
Jadi intinya, akal itu harus dilampaui. Karena akal bukan tujuan, tapi media untuk mengenal DIA. Dengan kata lain, Rumi ingin menegaskan bahwa akal, jasmani, panca indera adalah modal (alat) untuk berjalan menuju kepada-Nya. Bekal manusia dalam menapaki jejak ilaihi raji'un. Karena sesungguhnya rumus kehidupan ini adalah "Inna lillahi wa innailaihi rojiun". Semua, manusia siapa pun sedang melangkah maju menuju kepada-Nya. Sementara itu pula, sejatinya semua diharapkan untuk "pulang" kepada-Nya dalam keadaan tenang "mutmainnah" agar kepulangannya disambut dengan penuh keridhoan, seraya diminta ikut berkumpul-bergabung dengan hamba-hamba-Nya serta dipersilahkan masuk ke dalam surga-Nya.
Dengan berpijak pada tiga gagasan di atas, terutama ketika memaknai konsep mikrokosmos & makrokosmos, Rumi kemudian menemukan betapa sesungguhnya semua itu indah, mempesona, menakjubkan. Baginya, manusia dan kehidupannya itu indah. Alam semesta dengan segala isinya itu pun indah. Lantas, bagaimana dengan DIA? Dari sinilah yang mendasari munculnya "CINTA" bagi seorang Rumi. Cinta yang olehnya dimaknai sebagai "perasaan universal". Sebuah ruh persatuan dengan alam semesta. Cinta juga sebagai kekuatan yang menggerakkan perputaran dunia dan alam semesta, cinta memberikan makna bagi hidup dan keberadaan ummat manusia. Cinta yang bisa menjadi obat penyembuh bagi rasa yang merana dan berduka, serta mengahalau sifat sombong dalam diri manusia.
Atas dasar cinta pula sehingga dari puasa Rumi melahirkan bait-bait puisi yang sarat akan makna. Misalnya Rumi mengilustrasikan, orang yang berpuasa ibarat perjalanan Nabi Yusuf saat berada di sumur yang gelap. Tapi, kesulitan itu ternyata berbuah manis, karena dihadapi dengan penuh kesabaran dan keikhlasan. "Meski ragamu kan memucat sebab puasa#Namun jiwamu kan melembut bagai sutra#Doa-doa di bulan ini mustajab#Pintu-pintu langit kan terbuka#Yusuf menjadi pemimpin Mesir yang dicintai#Sebab ia bersabar dalam sumur gelap tak terperi". (Rumi, Divan-e Shams, puisi 2344). Pada kesempatan lain Rumi menyebut 'alat musik kecapi', 'bambu seruling', 'cincin Sulaiman', 'meja makan Isa Al Masih' dalam bait-bait puisinya terkait puasa. Silahkan diselami sendiri, karena bisa jadi 'rasaku tak setajam rasamu', daya ingatku tak sekuat ingatanmu. Tidak berani pun kuberpanjang kata tentang bait-bait puisi laiinya, karena boleh jadi yang lebih memilih diam justru sudah dalam rasa yang sama, sementara ku lebih memilih menulis karena sejatinya baru bejalar untuk merasa.
Itulah mengapa di awal catatan ini, dinyatakan bahwa "tuisan ini hanyalah serpihan debu pengetahuan saya tentang rasa cinta Rumi terhadap DIA yang dicintainya". Tapi sekalipun demikian, alhamdulilah, paling tidak sudah menjadi penyemangat dan penguat untuk terus berselancar di atas lekuk gelombang puisi-puisinya. Iya, karena kuyakin akan pengakuannya. Kata Maulana Jalaluddin Ar Rumi, "Aku hanyalah debu yang menempel di telapak kaki Muhammad Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam". Pengakuan sebagai pertanda bahwa ajaran Cinta Rumi adalah ajaran cintanya kepada Allah AZZA Wajalla melalui Baginda Nabi Muhammad SAW. Wallahu A'lam.
Catatan Seri 16 tentang Puasa, Ramadhan 1442 H/2021 M (Bekasi : Muhammad Arjul)