Article Peradilan
TERNYATA PUASA BISA MENDATANGKAN PENGALAMAN SPRITUAL (HIKMAH) TERSENDIRI BAGI PELAKUNYA ( Jilid 2)
pa-cikarang.go.id | 05 Mei 2021
"Puasa melatih diri untuk memahami keindahan alam semesta, melihat keagungan wajah-Nya dan merasakan kehadiran-Nya dalam kekosongan perut" (Jalaluddin Rumi)
Untuk sampai pada pemahaman yang utuh terhadap karya-karya seni (puisi) Jalaluddin Rumi yang terserak di berbagai buku dan terpublis di berbagai media, seorang pembaca (bahkan pencinta Rumi sekalipun) harus berani masuk ke ruang imajinatif. Membaca yang tersirat, menggali yang terpendam, mengungkap yang tersembunyi, melampaui arti lahiriah (harfiah) bait-bait puisinya. Sebagaimana pesan Rumi dalam satu karyanya, berjudul "Fihi Ma Fihi". Setidaknya terdapat tiga gagasan utama Rumi dalam buku tipis tersebut dalam memandang dan memahami sesuatu hal, yakni (1) Melampaui yang bersifat lahiriah); (2) memahami konsep mikrokosmos & makrokosmos; dan (3) bagaimana seharusnya seseorang memposisikan akal dalam diri manusia.
Pertama, Rumi menyatakan, "Segala sesuatu yang tampak di depan kita, bukanlah hakekat sesuatu yang sesungguhnya. Yang tampak dari bumi adalah debunya, namun dibalik debu itu adalah sifat-sifat Tuhan yang mengejewantah. Dimensi dalamnya adalah emas permata, sementara dimensi luarnya adalah sebongkah batu. Masuklah melintasi bentuk dan keluarlah dari jebakan nama-nama, berlarilah menuju makna. Hati-hatilah jangan tertipu, banyak hal yang kamu anggap sebagai penyebab, sebenarnya adalah HIJAB"
Jadi penekanan serius hampir dari semua sufi, termasuk Rumi adalah "jangan tertipu dengan lahirnya". Yang lahir itu tidak sejati, yang kelihatan itu tidak asasi. Mengapa? Karena yang lebih bernilai adalah yang di balik lahir. Kalau manusia berarti yang lebih penting adalah ruhaninya. Kalau itu "sesuatu" berarti yang lebih utama esensinya bukan eksistensinya. Maka jangan tertipu dengan fisik. Jangan terikat oleh bentuk, keluarlah dan gapailah makna. Contoh, "kacamatamu itu, ya kacamata lahirnya. Tapi lahirnya tidak penting. Yang lebih penting maknanya, yakni alat untuk membaca. Kegunaannya untuk melihat ketika kamu menyetir. Kalau berhenti pada lahirnya ya kaca, plastik, terus framnya, gagangnya itu, berarti kamu terjebak pada eksistensinya. Contoh lain, kopi yang di cangkir itu. Lahirianya, ada air panas plus kopi dan gula diaduk jadi satu, seperti yang terlihat itu, eksistensinya. Sekarang coba minum, apa yang dirasakan, enak ya, nikmat, apalagi diminum sesaat setelah berbuka. Yang terakhir inilah, yang disebut dengan esensi.
Selanjutnya, hati-hati, mengapa? Seperti kata Rumi lagi, banyak hal yang bersifat lahir namun dianggap sebab. Misalnya, pakaian yang dikenakan seseorang, baju, celana, sepatu, dan lainnya yang membuat dia tampak gagah-ganteng. Atau pada kesempatan lain seseorang mengatakan bahwa amalan baiknyalah yang akan memasukannya ke surga. Dia sesungguhnya tidak menyadari bahwa cara pandangnya itu justru menjadi "Hijab". Menjadi menghalang kedekatan dan pertemuannya dengan Allah. Koq bisa? Ya bisa, karena dia terjebak pada pemahaman bahwa "kalau dia begini, maka akan begitu". Atau "Kalau dia tidak begitu, maka dia akan begini", seolah-olah dia punya kekuatan, memiliki kemampuan mengendalikan, seakan-akan dia yang mengatur Tuhan. Padahal, semestinya perkara imbalan adalah tetap merupakan otoritas sang pencipta. Kewenangan si pembuat aturan, pemilik Wahyu, yakni ALLAH SWT. Kapan Allah tidak hadir di alam sadar seseorang dalam kalkulasi hukum sebab-akibat itu, di situlah Hijab bersemayam.
Jadi maksudnya Rumi, "ayuk kita garaf wilayah ruhaniyah kita, karena kalau yang di dalam beres berarti keluarnya pasti bagus". Dalam beribadah juga demikian, "jangan sampai ibadah (puasa kita misalnya) sama seperti disebutkan dalam hadits nabi, "Kam min soimin .... " Berapa banyak yang berpuasa hanya mendapatkan lapar dan hausnya, karena puasanya tidak menyentuh dimensi batinnya. Sama halnya ketika sholat, berapa banyak orang yang sholat, tapi sholatnya tidak ada ruhnya. Ya sholat tapi tidak ber-Tuhan. Sama persis dengan smartphone yang bisa mengaji, mengeluarkan bacaan Al Quran akan tetapi tidak ada ruh di dalamnya.
*
Kedua, dalam pemahaman Rumi, manusia ini adalah jagad kecil sekaligus jagad besar. Alam kecil juga alam besar. Rumi berpendapat bahwa manusia adalah mikrokosmos yang mampu menyerap makrokosmos di dalam bingkainya yang kecil. Lanjut Rumi, terdapat ratusan dunia yang tak terlihat dalam diri manusia, sehingga seorang "penyair" tidak patut mencari keindahan di luar dirinya. Kata Rumi, "kamu sendiri adalah (seluruh) masyarakat, kau satu dan ratusan ribu jumlahnya.
Jadi, di dalam diri seseorang terkandung segala unsur alam semesta, untuk itu Al Qur'an menyuruh melihat sekeliling dan melihat diri sendiri. Semua ada dalam alam diri manusia dalam bentuk yang mini (kecil). Misalnya air, api, udara, tanah, semua ada. "Maka pertama-tama kenalilah dirimu. lihatlah ke dalam dirimu. kalau sudah paham dirimu , kamu akan paham alam semesta. karena dalam dirimu ada alam semesta. Selanjutnya, kalau sudah paham alam semesta, kamu akan paham Allah. Karena alam semesta ini manifestasi dari semua sifat-sifat Allah". Sebagaimana disebutkan dalam hadits, "man arafa nafsahu fakad arafa rabbahu. Wan arafa rabbahu fakad arafa nafsahu"
Ingat rumusnya, bahwa dalam diri kita ada alam semesta (makrokosmos), makanya kita disebut microkosmos. Begitu kita mehami mikrokosmos dan makrokosmos kita akan paham tentang Tuhan. Mengapa? Karena alam semesta ini isinya adalah penampakan dari semua sifat-sifat Tuhan. Tuhan yang Penyayang, Tuhan yang Pemurah, Tuhan yang Teliti, semua tergambar, ada di alam semesta, di jagad besar, termasuk di diri kita sendiri. Jadi, kita dan alam semesta levelnya sama. Tugas kita adalah "menggosok" kecerdasan kita. Dengan cara apa, kalau mengikuti pesan Rumi adalah dengan CINTA. Kata Rumi lagi, "Intelek manusia mampu menerangkan rahasia ini sedalam-dalamnya bila digosok oleh cinta. Para ahli ma'rifat, para Wali yang merupakan 'intelek-intelek' akan mampu menerangkan rahasia pada seorang pencari".
Intinya, baca diri atau lebih tepatnya kaji diri. Bukankah perintah untuk "membaca" adalah tugas pertama yang diterima oleh Rasulullah SAW? IQRA kata Jibril kepada Muhammad SAW. Apa yang harus saya baca, balas Muhammad SAW. Bukankah tidak ada "bacaan" yang perlu dibaca, sementara saya dalam keadaan ummi alias tidak tau apa-apa? Begitu kira-kira dialog antara Muhammad SAW dengan Jibril, sampai perintah IQRA terulang sebanyak tiga. Sekali lagi terulang hingga tiga kali. Ketika perintah itu datang, padahal tidak atau belum ada "bacaan atau Al Qur'an" yang tersedia, tentu tersedia bahan bacaan dalam bentuk lain. Apa itu? Sesuai dengan lanjutan ayat dalam surah Al Alaq, terdapat kata "Manusia" sehingga bisa jadi perintah membaca yang dimaksudkan adalah mencaba manusia, termasuk diri pribadi Muhammad SAW itu sendiri, mikrokosmos. Sebuah bentuk jawaban dari perintah membaca pertama. Perintah membaca kedua, bisa jadi, dimaksudkan adalah untuk membaca Alam Semesta dan segala isinya termasuk didalamnya manusia itu juga, makrokosmos. Sedang perintah membaca ketiga, bisa jadi yang dimaksudkan adalah "Al Qur'an" seperti yang kebanyakan kita pahami selama ini. Bila demikian adanya, tidak salah anggapan sebagian orang bahwa sesungguhnya Al Qur'an pada dasarnya terdiri dari tiga bentuk, yakni (1) Al Qur'an yang termanifestasikan dalam diri Manusia; (2) Al Qur'an yang termanifestasikan melalui Alam Raya ini; dan (3). Al Qur'an dalam bentuknya sebagaimana "Mushab" yang tersimpan rapi di rak lemari. Dan disini pula relevansi 3 bentuk Al Qur'an ini dengan 3 perintah membaca dari Jibril kepada Muhammad SAW. Wallahu A'lam... (BERLANJUT .... tulisan masih tentang Rumi, Insyaallah!)
Catatan Seri 15 Tentang Puasa, Ramadhan 1442 H/2021 M (Bekasi : Muhammad Arjul)