Article Peradilan
TERNYATA PUASA BISA MENDATANGKAN PENGALAMAN SPRITUAL TERSENDIRI BAGI PELAKUNYA (1)
pa-cikarang.go.id | 03 Mei 2021
“Semua amalan anak Adam (manusia) itu untuk dirinya, kecuali puasa. Sebab, ia adalah buat-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya. (HR Al Bukhari-Muslim). Di lain kesempatan Rasulullah SAW bersabda kepada seseorang, “Hendaklah kamu berpuasa, karena tidak ada yang serupa dengannya” (an-Nasa’, Siyam 2220). Allah SWT juga berfirman, “Tiada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya” (QS. 42:11).
Ibadah puasa memiliki keunikan. Keunikannya karena disebut-disebut sebagai ibadah yang bersifat rahasia, seperti disebutkan dalam hadits qudsi di atas. Rahasia. Mengapa rahasia, rahasia antara siapa dengan siapa, seperti apa wujud (kadar) rahasia yang mungkin ada diantara dua pihak yang memegang rahasia itu?
Pertama, mengapa rahasia. Karena hakekatnya yang memberi perintah "rahasia". DIA adalah laisa kamislihi syaiun, (tak ada sesuatu apapun yang menyerupainya). Meskipun dalam beberapa keterangan ia "mencoba memperkenalkan siapa diriNya". Seperti dinukil dalam hadits qudsi, "Kuntu Kanzan Maqfiyan ... " (Sesungguhnya dahulu aku adalah harta Karun yang tersembunyi ... ) Dan dari berbagai keterangan lainnya pula kita terbantu untuk mengenal, seperti nama-nama serta sifat-sifat Nya.
Kedua, karena rahasianya Allah, maka tentu yang punya otoritas absolut untuk memberikan ganjaran adalah Allah sendiri. Ya, bahasa nakalnya, "ya mau-maunya dia-siapa pun di luar dirinya tidak punya hak turut campur". Ya semaunya gue bro, itu bukan urusan lhu pade" begitu kira-kira kata anak gaul Jakarta. Oleh karenanya, sangat mungkin bentuk ganjaran bagi pelaku puasa berbeda satu sama lain. Atau boleh jadi juga terdapat dua, tiga, atau lebih diantara pelaku puasa menerima ganjaran yang sama. Sekali lagi tergantung sang pemberi janji, yakni Allah AZZA Wajalla.
Ketiga, puasa adalah ibadah individual. Harus dipahami bahwa puasa tetaplah laku individual, sekalipun dalam satu kurun waktu tertentu seperti saat bulan ramadhan dijalankan secara bersama-sama. Dalam bahasa fiqhinya, puasa merupakan fardu ain. Kewajiban individual, sama kedudukannya dengan sholat lima waktu atau zakat fitrah. Jadi logikanya, boleh jadi dalam satu komunitas tertentu melakukan satu jenis puasa yang sama, juga dalam kurung waktu yang sama tapi masing-masing mendapatkan hikmah yang berbeda satu sama lain. Dan ini berlaku untuk semua jenis puasa. Apakah puasa ramadhan, puasa Daud, puasa Senin-Kamis, dan seterusnya.
Keempat, mengacu pada tiga presmis di atas tadi, oleh karenanya masing-masing pelaku puasa tidak perlu ada rasa iri, juga tidak perlu kaget jika mendapati seseorang pelaku puasa memperoleh "hikmah" sebagai buah dari puasanya. Disamping itu, juga tidak perlu saling menilai satu sama lain, terlebih dimaksudkan untuk mengukur kualitas atau membandingkan puasa seseorang dengan lainnya. Yang diperlukan adalah sikap saling mengingatkan, saling memahami, saling support, saling mendoakan, agar laku puasanya semakin berkualitas, berkah dan diridhoi olehNya.
Selanjutnya, adapun berbagai "rahasia" dari hikmah puasa yang "tersingkap" dan menjadi bahasan secara terbuka, seyogyanya dijadikan sebagai pembelajaran berharga. Tidak cukup waktu, tenaga dan pikiran, tinta, dan kertas untuk menuliskan semua "rahasia" yang sudah ada. Contoh diakhir catatan ini hanyalah satu dari sekian banyak dan luasnya "Samudera Hikmah" dari puasa yang pernah ada.
Misalnya hikmah puasa dari Jalaluddin Rumi yang melahirkan Puisi. Seperti apa itu? Diantara ungkapan yang kerap digunakan Rumi untuk menggambarkan puasa adalah Band-e dahan atau penutup mulut. Karena dengan berpuasa, kita tidak hanya menjaga mulut dari makan dan minum, tapi juga mengontrol pembicaraan kita agar tidak menyakiti orang lain. (Divan-e Shams, puisi ke 634). Di lain waktu, Rumi juga menyebut puasa sebagai Atash atau api. Karena dengan berpuasa nafsu dan keinginan duniawi kita akan terbakar. (Divan-e Shams, puisi ke 1084). Atau Rumi juga pernah mengilustrasikan puasa sebagai kendi yang menampung air jernih. Jika mengabaikan ibadah puasa, kita seperti memecahkan kendi yang dipenuhi air. Sehingga kita akan kehilangan sesuatu yang paling berharga bagi kehidupan. (Rubai, puisi ke 1642). Dan yang lebih menarik, Rumi juga beberapa kali memberikan perumpamaan puasa dengan kata Madar atau Ibu. Seorang Ibu penyayang yang mendidik manusia. Karena, selama kita mengikuti prosesi berpuasa dengan benar, kita tidak akan tersesat. Sebagaimana anak-anak yang selalu berada dalam genggaman ibunya, tidak akan terpisah dan hilang. (Divan-e Shams, puisi ke 2375). Bagaimana dengan pengalaman Spritual tokoh-tokoh lainnya? Akan diulas pada catatan seri berikutnya, insyaallah. Wallahu A'lam.
Catatan Seri 14 Tentang Puasa, Ramadhan 1442 H/2021 M (Bekasi : Muhammad Arjul)